Overblog
Edit post Follow this blog Administration + Create my blog

Mau Untung Bermain Judi Dadu Online di DaduIndoCom ?

February 26 2019

Penelitian terbaru dari AS menunjukkan bahwa baby boomer atau orang berusia di atas 65 tahun dengan pandangan politik konservatif lebih mungkin dibandingkan kelompok usia lainnya untuk berbagi berita palsu melalui media sosial.

Bukan di Indonesia. Penelitian kami, yang kami presentasikan pada konferensi tahunan Jaringan Asia untuk Riset Opini Publik (ANPOR) pada bulan November 2018, membuktikan sebaliknya.

Kami mensurvei 480 responden dari semua kota dan kabupaten di Jawa Barat, provinsi terpadat di Indonesia, untuk memeriksa faktor-faktor yang memicu kecenderungan orang untuk berbagi berita palsu.

Kami menemukan bahwa sekitar 30 persen responden kami memiliki kecenderungan tinggi untuk berbagi berita palsu. Kami juga menemukan bahwa usia orang, tingkat pendidikan, dan jenis kelamin tidak menentukan kemungkinan mereka berbagi berita palsu.

Mereka yang cenderung menyebarkan berita palsu adalah orang-orang yang menghabiskan banyak waktu online, ditunjukkan oleh pengeluaran internet yang tinggi.
Pengeluaran Internet mendorong orang untuk berbagi lebih banyak berita palsu

Hasil survei kami datang pada saat isu berita palsu dan informasi yang keliru mendominasi media di Indonesia saat negara tersebut bersiap untuk pemilihan umum dan pemilihan presiden pada bulan April.

Temuan paling menarik dalam survei kami adalah bahwa faktor-faktor demografis, seperti usia, jenis kelamin, dan tingkat pendidikan, tidak berpengaruh apa pun pada niat individu untuk berbagi berita palsu.

Satu-satunya faktor demografis yang mendorong seseorang untuk berbagi berita palsu adalah pengeluaran mereka di internet. Semakin banyak individu menghabiskan di internet, semakin tinggi kecenderungan orang ini untuk berbagi berita palsu.

Data kami menunjukkan bahwa setiap kenaikan pengeluaran internet sebesar Rp50.000 (sekitar US $ 4) akan mendorong orang untuk lebih banyak berbagi berita palsu.
Faktor lain

Selain faktor demografis, kepercayaan orang pada konspirasi juga menentukan kecenderungan tinggi mereka untuk berbagi berita palsu. Keyakinan ini didefinisikan sebagai "asumsi yang tidak perlu tentang adanya konspirasi ketika ada penjelasan sederhana lainnya". Contohnya adalah kepercayaan bahwa calon presiden yang berkuasa Joko “Jokowi” Widodo adalah boneka Cina yang ingin menyerang Indonesia dengan mendatangkan lebih dari 10 juta pekerja asing Tiongkok.

Orang-orang yang menganggap diri mereka sebagai pemimpin opini dalam kelompok mereka juga memiliki kecenderungan tinggi untuk berbagi berita palsu.

Faktor agama juga berperan. Survei kami menunjukkan bahwa orang-orang dengan kepercayaan agama yang lemah cenderung lebih banyak berbagi berita palsu. Namun, data ini dapat menjadi bias - orang Indonesia cenderung menjawab positif pertanyaan tentang agama mereka.

Selain itu, survei kami juga menunjukkan bahwa orang yang tidak percaya diri dengan keterampilan media sosial mereka memiliki kecenderungan lebih tinggi untuk berbagi berita palsu. Kami mendefinisikan mereka yang ahli dalam media sosial sebagai orang yang tidak hanya dapat mengkonsumsi konten media di media sosial tetapi juga memproduksinya. Keahlian seperti itu tidak berkorelasi dengan pengeluaran seseorang di internet.
Temuan penting lainnya

Hampir 70 persen responden kami di Jawa Barat memiliki kecenderungan rendah untuk membagikan berita palsu.

Temuan ini mendukung penelitian sebelumnya di AS yang menunjukkan tingkat berbagi berita palsu sering kali rendah, dan niat orang untuk berbagi informasi yang salah bahkan lebih rendah. Penyebaran berita palsu lebih disengaja daripada disengaja, dipengaruhi oleh orang-orang dengan motif politik dan ekonomi yang memanipulasi emosi individu.

Penelitian kami juga mengungkapkan bahwa mayoritas orang dari Jawa Barat dapat mengidentifikasi berita palsu. Setidaknya 60,8 persen responden dapat mengidentifikasi 25-50 persen berita palsu. Dan 7,7 persen dari mereka dapat mengidentifikasi 75-100 persen berita palsu, dengan 4 persen mampu mengidentifikasi semua berita palsu. Hanya 31,5 persen responden yang tidak dapat mengidentifikasi berita palsu.

Dalam analisis lanjutan, kami menemukan bahwa media untuk mengirim informasi yang salah sebagian menentukan kemampuan seseorang untuk mengidentifikasinya.

Selama penelitian, kami meminta responden kami untuk mengidentifikasi dua item berita palsu di media sosial seperti Facebook dan Twitter, dan dua item berita palsu lainnya dalam bentuk pesan WhatsApp. Contoh-contoh berita palsu ini diambil dari grup Facebook resmi anti-tipuan Indonesia, "Turn Back Hoax", untuk memastikan isinya salah informasi dan telah diverifikasi oleh pemeriksa fakta.

Dalam kedua format, kami menggunakan konten palsu yang menyerang dan membela setiap kandidat presiden untuk menghindari bias dari kedua sisi pendukung. Analisis itu sendiri menunjukkan bahwa preferensi politik orang tidak menentukan kecenderungan mereka untuk berbagi informasi yang salah ini.

Metodologi survei kami berbeda dari yang digunakan di AS, di mana mereka berfokus pada distribusi berita palsu di Facebook saja.

Survei kami menunjukkan bahwa lebih mudah untuk mengidentifikasi berita palsu di media sosial daripada di WhatsApp. Tingkat keberhasilan untuk mengidentifikasi berita palsu di media sosial mencapai 9,3 persen sementara di WhatsApp 6,3 persen.

Meskipun kecenderungan untuk berbagi berita palsu di Jawa Barat relatif rendah, berita buruknya adalah bahwa meskipun beberapa orang dapat mengidentifikasi berita palsu, itu tidak berarti mereka tidak membagikannya dengan lingkaran mereka.

Kesimpulan ini menantang gagasan populer tentang perlunya literasi media untuk mendidik orang tentang memahami konten media untuk melawan penyebaran informasi yang salah. Survei kami menunjukkan bahwa orang-orang ini dapat mengidentifikasi informasi yang salah dengan cukup baik. Tetapi mereka masih membagikannya.

Apa yang bisa kita lakukan?

Hasil survei tidak sepenuhnya mengecewakan. Kami masih memiliki kesempatan untuk membatasi distribusi informasi yang salah.

Pertama, kita dapat mengatasi kepercayaan pada teori konspirasi dengan meningkatkan kemampuan analisis orang, sehingga mereka tidak cukup mudah tertipu untuk menerima solusi sederhana yang biasanya ditawarkan dalam teori konspirasi.

Kedua, kita harus memperkenalkan formula yang lebih baik untuk literasi media. Program literasi media tidak hanya fokus pada penggunaan media sosial tetapi juga mencakup peningkatan kemampuan individu untuk menghasilkan dan mengkonsumsi informasi di media sosial.

Di era media sosial kita sekarang ini, semua orang harus tahu bagaimana konten multimedia diproduksi. Dengan pengetahuan ini, mereka akan memiliki pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana menafsirkan teks. Saat orang dapat membuat konten, mereka tidak lagi hanya bergantung pada konten orang lain, yang bisa berupa berita palsu.

Kita membutuhkan formula literasi media baru yang lebih fokus pada media sosial. DaduIndoCom

Kami masih memerlukan penelitian lebih lanjut untuk memahami mengapa orang, dari latar belakang apa pun, masih cenderung berbagi informasi yang salah. Menjelajahi berita palsu sebagai masalah filosofis melawan kebenaran bisa menjadi masalah untuk penelitian lanjutan.

Kami percaya penelitian tentang bagaimana dan mengapa orang berbagi informasi sangat penting bagi Indonesia karena mendekati pemilihan umum dan presiden, di mana hoax dan berita palsu sering menyebar dengan cepat.

Share this post
Repost0
To be informed of the latest articles, subscribe:
Comment on this post